Kapan Tren Traveling Mulai Jadi Hobi Kebanyakan Orang?

Traveling kini bukan lagi sekadar kegiatan liburan tahunan atau aktivitas eksklusif bagi orang berduit. Ia telah menjelma menjadi gaya hidup bahkan hobi yang digemari banyak kalangan. Dari anak muda hingga orang tua, dari pelajar hingga profesional—semuanya tampak berlomba-lomba membagikan momen perjalanan mereka di media sosial. Tapi, pernahkah kamu bertanya: kapan sebenarnya tren traveling mulai jadi hobi kebanyakan orang?

Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri sejarah singkat perkembangan budaya bepergian, peran teknologi, serta faktor sosial dan ekonomi yang membuat traveling semakin populer dan terjangkau.

Dari Kemewahan ke Kebiasaan: Sejarah Singkat Traveling

Di masa lalu, perjalanan jarak jauh adalah aktivitas yang terbatas hanya bagi bangsawan, pedagang kaya, atau penjelajah. Bepergian ke negara lain memerlukan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, biaya besar, dan risiko tinggi.

Baru setelah era Revolusi Industri di abad ke-19, ketika transportasi kereta api dan kapal uap berkembang pesat, konsep liburan mulai dikenal di kalangan kelas menengah Eropa. Mereka mulai menjadikan perjalanan sebagai bentuk rekreasi, bukan semata urusan bisnis atau ekspedisi.

Namun, pada saat itu pun, traveling masih dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Orang harus punya uang, waktu, dan status sosial tertentu untuk dapat melakukannya secara rutin.

Tahun 1990-an: Awal Kebangkitan Traveling Modern

Lonjakan besar tren traveling sebagai hobi terjadi mulai pertengahan hingga akhir 1990-an, seiring dengan:

  • Pertumbuhan industri penerbangan murah (low-cost airlines)
    Maskapai seperti Ryanair dan AirAsia mempopulerkan penerbangan hemat, membuat perjalanan antarnegara semakin mudah dan terjangkau.

  • Meningkatnya pariwisata internasional
    Negara-negara mulai sadar bahwa sektor pariwisata bisa menjadi sumber devisa besar. Mereka mulai membuka visa, membangun infrastruktur, dan mempromosikan destinasi secara global.

  • Munculnya internet dan informasi digital
    Traveler tak lagi bergantung pada agen wisata. Informasi hotel, tiket, dan destinasi bisa dicari sendiri lewat internet. Situs seperti Lonely Planet dan TripAdvisor menjadi panduan wajib.

Di titik inilah traveling mulai memasuki transisi dari aktivitas eksklusif menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat urban.

Awal 2000-an: Media Sosial dan Efek “Travel FOMO”

Masuk ke era 2000-an dan awal 2010-an, media sosial menjadi katalis utama dalam menyulut minat orang-orang untuk bepergian.

Platform seperti Facebook, Instagram, hingga YouTube memunculkan tren berbagi foto perjalanan dan video petualangan. Travel blogger, vlogger, dan selebgram membuat traveling tampak glamor dan bisa diakses siapa saja.

Istilah FOMO (Fear of Missing Out) pun lahir—orang takut ketinggalan pengalaman, pemandangan, atau destinasi yang sedang tren. Akibatnya, banyak yang mulai menabung khusus untuk jalan-jalan, bahkan menjadikan traveling sebagai bagian dari resolusi hidup.

Pandemi dan Pasca Pandemi: Traveling sebagai Self-Healing

Saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020, semua aktivitas termasuk traveling mendadak berhenti. Namun, setelah pembatasan mulai dilonggarkan, muncul fenomena revenge travel—orang-orang ingin balas dendam atas waktu yang terbuang selama karantina dengan melakukan lebih banyak perjalanan.

Tren ini mempertegas bahwa traveling sudah menjadi kebutuhan emosional, bukan sekadar hiburan. Banyak orang menganggap bepergian sebagai cara menyembuhkan diri, mengurangi stres, atau bahkan menemukan kembali tujuan hidup.

Bahkan di masa pasca-pandemi, permintaan terhadap perjalanan solo, road trip, staycation, hingga ekowisata meningkat drastis.

Siapa Saja yang Membawa Tren Ini Jadi Hobi Populer?

Beberapa kelompok masyarakat memainkan peran penting dalam mendorong traveling sebagai hobi:

  • Anak muda atau generasi milenial
    Mereka dikenal lebih menghargai pengalaman dibanding barang. Jalan-jalan dianggap sebagai investasi pribadi.

  • Digital nomad dan freelancer
    Dengan pekerjaan yang fleksibel, banyak dari mereka menjadikan traveling sebagai bagian dari gaya hidup kerja.

  • Komunitas traveling
    Komunitas seperti Backpacker Dunia atau Traveler Cantik membantu menyebarkan informasi, tips, dan inspirasi agar traveling lebih mudah dan murah.

  • Influencer dan content creator
    Peran mereka sangat besar dalam membentuk persepsi bahwa traveling itu menyenangkan, penting, dan layak diperjuangkan.

Apakah Tren Traveling Akan Terus Menjadi Hobi Massal?

Melihat perkembangan teknologi, perubahan gaya hidup, dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya well-being, tampaknya tren ini masih akan terus bertahan lama.

Dengan hadirnya platform seperti TikTok dan Instagram Reels, traveling kini tak hanya tentang pergi dan menikmati momen, tapi juga tentang membagikannya dengan cara yang kreatif dan inspiratif.

Apalagi dengan kemudahan pembayaran digital, opsi penginapan seperti homestay atau hostel, serta layanan pencarian promo tiket dan hotel, semakin banyak orang merasa traveling bukan lagi mimpi, tapi tujuan yang bisa diraih.

Kesimpulan


Jadi, kapan traveling mulai jadi hobi kebanyakan orang? Jawabannya: sejak era 1990-an dan makin berkembang di tahun 2000-an hingga sekarang, dengan dorongan besar dari teknologi, media sosial, dan perubahan nilai hidup manusia.

Kini, traveling bukan sekadar hobi. Ia sudah menjadi bagian dari identitas, cara seseorang mengekspresikan diri, dan bahkan bentuk terapi jiwa. Baik itu menjelajah kota sendiri, mendaki gunung, atau sekadar staycation di vila pinggir danau, semua orang kini punya alasan untuk melakukan perjalanan.

Dan kamu, kapan terakhir kali traveling bukan karena ingin terlihat keren, tapi karena memang ingin merasa hidup?